Jumat, 29 Juni 2012

KISAH CINTA DALAM PERANG ACEH (Bag.3)

“Mari kita berjuang bersama, Syarif,” Husin berdiri dan mendekati Syarif, ia penuh semangat. “Tidakkah kau menginginkan bidadari?”

“Aku tak butuh bidadari,” sahut Syarif ketus.

“Astagfirullahal’azim,” Husin menggeleng, “Sampai hati kau bicara begitu, Allah bisa murka kepadamu.”

“Aku ingin hidup bahagia bersama Jamilah, apakah aku tak bisa mendapatkannya?” Nada suara Syarif mulai tinggi.

“Apakah kau tidak memahaminya, Saudara?” Raut wajah Husin berubah getir. Ia tak menyangka apa yang terjadi pada sahabatnya. “Sebenarnya Tuhan ingin menganugerahi kebahagiaan yang lebih besar untukmu. Dan Jamilah tahu itu, karenanyalah dia meminta semua itu kepadamu.”

Husin melangkah ke kamar, mengambil pedang, lalu berdiri dengan gagah di hadapan sahabatnya. “Aku bangga mengenalmu, dan menjadi saudaramu. Pikirkanlah semua yang telah terjadi, semoga Allah menunjuki dirimu. Mohon maafkan aku. Terima kasih banyak. Aku pamit.”

Husin mengucap salam dan melangkah cepat keluar gubug itu. Tinggallah Syarif sendirian dalam gundah gulana yang segelap malam. Mulutnya sudah tak mau bicara, hanya air matanya yang berurai tiada henti. Dalam semalam, ia telah kehilangan segalanya.

***

Rasa kantuk telah mati. Syarif tak tidur semalaman. Alam pikirannya berseliweran tak henti-henti, membayang-bayang di hadapan pelupuk matanya. Matahari baru naik sepenggalahan, sunyi merawankan. Suara ledakan tiba-tiba terdengar, jauh dan dalam. Serangan Belanda rupa-rupanya telah dimulai. Semua gambaran mengerikan terpampang jelas. Dan baur terusir pergi tidak peduli. Jantung Syarif berdetak lebih kencang, pelipisnya berdenyut-denyut, kepalanya pening. Napasnya memburu, dan realitas di tempurung kepalanya berat menggantung. Ia ragu-ragu.

Tiba-tiba suara ketukan terdengar dari pintu gubugnya. Ia melangkah gontai, dan membuka pintunya, terbelalaklah matanya. Dua orang prajurit berdiri diam membisu. Di antara mereka ada usungan, dan Husin terbaring tak bernyawa di dalamnya. Tubuhnya telah dilapisi baju zirah yang berdarah-darah. Matanya telah tertutup sampai ke akhir dunia.

“Husin meminta semua ini sebelum ia syahid. Ia mau kaulah yang menguburkan jenazahnya,” kata salah seorang prajurit itu. Kemudian mereka mengucap salam dan pergi.

Dalam sunyi berlinanglah lagi air mata di pipi lelaki itu. Ia melangkah mendekati mayat saudaranya. Tubuh suci pejuang itu dibasuh air mata. Syarif berlutut di dekat mayat Husin, dan doa-doa lirih melayang-layang, menguap ke angkasa raya, terbang ke hadirat Tuhan.

“Bahagianya dirimu,” bisik Syarif, “Kenalkan aku pada istrimu yang cantik itu.”

Syarif menggendong jenazah sahabatnya. Digalinya sebuah liang lahat di dekat gubug itu. Dikuburnya sahabatnya itu dalam kehormatan pakaian perang yang berlumuran darah. Harum, ikhlas tanpa cela. Selesai memakamkan sahabatnya ia berlari ke kamarnya, mengambil pedang, dan sebuah bungkusan kain berwarna kuning dari balik tempat tidurnya. Ia keluar dari sana dan berlari, tak sempat menutup pintu. Berlari, terus berlari. Tak henti.

Tak lama kemudian sampailah ia di ambang pintu gubug Jamilah. Tangannya gemetar, diketuknya pintu itu, dan diucapkannya salam. Tak harus menunggu lama, Jamilah membukakannya, dan ia tegak di ambang pintu. Syarif menatap kepedihan. Wajah Jamilah telah redup. Matanya sembab, ada bayangan hitam di pelupuknya, tanda bahwa ia mencucurkan air mata semalaman. Namun di tengah-tengah kepedihan Jamilah masih sudi mempersembahkan senyum bagi lelaki yang dicintainya itu.

Suara dentum ledakan samar-samar di telinga mereka. Hati meracau, dan hidup penuh galau. Sepasang pencinta itu berhadap-hadapan, membisu beberapa detik sebab jiwa menggelora. Apa yang harus mereka ucapkan, yang mereka tahu hanya kata cinta. Dan mereka hanya diam, ingin menyelami seberapa dalam hati mereka.

Syarif merogoh saku celananya, mengambil bungkusan kain berwarna kuning itu. Dibukanya ikatannya, dan ia sodorkan bungkusan itu kepada Jamilah dengan kedua belah tangannya. Jamilah terkejut, ia mendekap mulutnya. Isi bungkusan itu adalah sebuah gelang emas. Hanya sebuah.

“Ini jeulamee [10] untukmu,” kata Syarif, “Terimalah, aku dapatkan ini dengan susah payah hanya untukmu.”

Jamilah ragu, tapi ia layangkan juga tangannya untuk mengambil benda itu dengan gemetar. Ia dekap gelang itu di dadanya, dan hatinya menguapkan puji-pujian hanya kepada Tuhan. Air matanya telah berlinang. Beberapa detik berlalu mereka hanya diam. Tak kuasa berkata apa-apa.

Suara dentuman sayup-sayup terdengar lagi. Membuyarkan angan-angan mereka tentang keindahan pernikahan yang tak akan pernah terlaksana. Cinta mereka suci, namun tak kuasa mereka menyatukannya.

“Aku akan berangkat berperang,” kata Syarif dengan gemetar, wajahnya menunduk menatap tanah, tak sanggup memandang wajah kekasihnya. “Aku mencintaimu, sungguh-sungguh mencintaimu. Aku tak ingin bidadari, aku hanya menginginkanmu. Jaga dirimu baik-baik.”

Syarif berbalik dan melangkah cepat meninggalkan kekasihnya. Ia berlari sambil menenteng pedang di tangan kanannya. Jiwanya menggelora, ia menangis. Tapi belum jauh ia berlari, langkahnya telah terhenti.

“Cutbang, tungguuuu,” Jamilah memanggil.

Syarif menoleh ke belakang, ia melihat Jamilah masuk ke dalam gubugnya. Beberapa detik kemudian ia keluar lagi dengan menenteng pedang. Ia berlari mendekati Syarif. Gelang emas itu tetap didekapnya di dadanya.

Jamilah menatap dalam-dalam mata kekasihnya itu, “Demi Allah aku mencintaimu, Cutbang. Aku ingin bahagia bersamamu. Ingin sekali.”

Ledakan-ledakan terdengar lagi. Dentuman senjata membahana sunyi. Rentetan peluru tak putus-putus. Jauh dan sabar, sendu dan pilu. Senyum merekah di wajah Syarif.

“Aku tak ingin bidadari, aku hanya ingin dirimu. Perang Sabil menunggu kita, mari berangkat.”

Mereka berjalan cepat, bersisian. Pedang kokoh dalam genggaman masing-masing. Pandangan mereka lurus ke depan, menatap perjuangan yang jadi amanah Tuhan. Baru kali itu senyum merekah di bibir mereka berdua, bersama-sama. Gelang emas teguh dalam dekapan Jamilah, seteguh Syarif mendekap cintanya. Mereka bertempur bersama-sama dalam Perang Sabil. Menggadaikan cinta mereka demi perjuangan, dalam kebesaran jiwa, dalam keikhlasan, dalam cinta. Dan berbahagialah mereka selamanya dengan cinta mereka. Tuhan sendiri yang menikahkan mereka. Para malaikat menjadi saksi-saksinya. Bidadari-bidadari jadi pengiring-pengiringnya. Seisi surga berbahagia…[TAMAT]

[10] Mas kawin (mahar).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar