“Mari kita berjuang bersama, Syarif,” Husin berdiri dan mendekati Syarif, ia penuh semangat. “Tidakkah kau menginginkan bidadari?”
“Astagfirullahal’azim,” Husin menggeleng, “Sampai hati kau bicara begitu, Allah bisa murka kepadamu.”
“Aku ingin hidup bahagia bersama Jamilah, apakah aku tak bisa mendapatkannya?” Nada suara Syarif mulai tinggi.
“Apakah kau tidak memahaminya, Saudara?” Raut wajah Husin berubah getir. Ia tak menyangka apa yang terjadi pada sahabatnya. “Sebenarnya
Tuhan ingin menganugerahi kebahagiaan yang lebih besar untukmu. Dan
Jamilah tahu itu, karenanyalah dia meminta semua itu kepadamu.”
Husin melangkah ke kamar, mengambil pedang, lalu berdiri dengan gagah di hadapan sahabatnya. “Aku
bangga mengenalmu, dan menjadi saudaramu. Pikirkanlah semua yang telah
terjadi, semoga Allah menunjuki dirimu. Mohon maafkan aku. Terima kasih
banyak. Aku pamit.”
Husin
mengucap salam dan melangkah cepat keluar gubug itu. Tinggallah Syarif
sendirian dalam gundah gulana yang segelap malam. Mulutnya sudah tak mau
bicara, hanya air matanya yang berurai tiada henti. Dalam semalam, ia
telah kehilangan segalanya.
***
Rasa kantuk
telah mati. Syarif tak tidur semalaman. Alam pikirannya berseliweran
tak henti-henti, membayang-bayang di hadapan pelupuk matanya. Matahari
baru naik sepenggalahan, sunyi merawankan. Suara ledakan tiba-tiba
terdengar, jauh dan dalam. Serangan Belanda rupa-rupanya telah dimulai.
Semua gambaran mengerikan terpampang jelas. Dan baur terusir pergi tidak
peduli. Jantung Syarif berdetak lebih kencang, pelipisnya
berdenyut-denyut, kepalanya pening. Napasnya memburu, dan realitas di
tempurung kepalanya berat menggantung. Ia ragu-ragu.
Tiba-tiba
suara ketukan terdengar dari pintu gubugnya. Ia melangkah gontai, dan
membuka pintunya, terbelalaklah matanya. Dua orang prajurit berdiri diam
membisu. Di antara mereka ada usungan, dan Husin terbaring tak bernyawa
di dalamnya. Tubuhnya telah dilapisi baju zirah yang berdarah-darah.
Matanya telah tertutup sampai ke akhir dunia.
“Husin meminta semua ini sebelum ia syahid. Ia mau kaulah yang menguburkan jenazahnya,” kata salah seorang prajurit itu. Kemudian mereka mengucap salam dan pergi.
Dalam
sunyi berlinanglah lagi air mata di pipi lelaki itu. Ia melangkah
mendekati mayat saudaranya. Tubuh suci pejuang itu dibasuh air mata.
Syarif berlutut di dekat mayat Husin, dan doa-doa lirih melayang-layang,
menguap ke angkasa raya, terbang ke hadirat Tuhan.
“Bahagianya dirimu,” bisik Syarif, “Kenalkan aku pada istrimu yang cantik itu.”
Syarif
menggendong jenazah sahabatnya. Digalinya sebuah liang lahat di dekat
gubug itu. Dikuburnya sahabatnya itu dalam kehormatan pakaian perang
yang berlumuran darah. Harum, ikhlas tanpa cela. Selesai memakamkan
sahabatnya ia berlari ke kamarnya, mengambil pedang, dan sebuah
bungkusan kain berwarna kuning dari balik tempat tidurnya. Ia keluar
dari sana dan berlari, tak sempat menutup pintu. Berlari, terus berlari.
Tak henti.
Tak
lama kemudian sampailah ia di ambang pintu gubug Jamilah. Tangannya
gemetar, diketuknya pintu itu, dan diucapkannya salam. Tak harus
menunggu lama, Jamilah membukakannya, dan ia tegak di ambang pintu.
Syarif menatap kepedihan. Wajah Jamilah telah redup. Matanya sembab, ada
bayangan hitam di pelupuknya, tanda bahwa ia mencucurkan air mata
semalaman. Namun di tengah-tengah kepedihan Jamilah masih sudi
mempersembahkan senyum bagi lelaki yang dicintainya itu.
Suara
dentum ledakan samar-samar di telinga mereka. Hati meracau, dan hidup
penuh galau. Sepasang pencinta itu berhadap-hadapan, membisu beberapa
detik sebab jiwa menggelora. Apa yang harus mereka ucapkan, yang mereka
tahu hanya kata cinta. Dan mereka hanya diam, ingin menyelami seberapa
dalam hati mereka.
Syarif
merogoh saku celananya, mengambil bungkusan kain berwarna kuning itu.
Dibukanya ikatannya, dan ia sodorkan bungkusan itu kepada Jamilah dengan
kedua belah tangannya. Jamilah terkejut, ia mendekap mulutnya. Isi
bungkusan itu adalah sebuah gelang emas. Hanya sebuah.
“Ini jeulamee [10] untukmu,” kata Syarif, “Terimalah, aku dapatkan ini dengan susah payah hanya untukmu.”
Jamilah
ragu, tapi ia layangkan juga tangannya untuk mengambil benda itu dengan
gemetar. Ia dekap gelang itu di dadanya, dan hatinya menguapkan
puji-pujian hanya kepada Tuhan. Air matanya telah berlinang. Beberapa
detik berlalu mereka hanya diam. Tak kuasa berkata apa-apa.
Suara
dentuman sayup-sayup terdengar lagi. Membuyarkan angan-angan mereka
tentang keindahan pernikahan yang tak akan pernah terlaksana. Cinta
mereka suci, namun tak kuasa mereka menyatukannya.
“Aku akan berangkat berperang,” kata Syarif dengan gemetar, wajahnya menunduk menatap tanah, tak sanggup memandang wajah kekasihnya. “Aku mencintaimu, sungguh-sungguh mencintaimu. Aku tak ingin bidadari, aku hanya menginginkanmu. Jaga dirimu baik-baik.”
Syarif
berbalik dan melangkah cepat meninggalkan kekasihnya. Ia berlari sambil
menenteng pedang di tangan kanannya. Jiwanya menggelora, ia menangis.
Tapi belum jauh ia berlari, langkahnya telah terhenti.
“Cutbang, tungguuuu,” Jamilah memanggil.
Syarif
menoleh ke belakang, ia melihat Jamilah masuk ke dalam gubugnya.
Beberapa detik kemudian ia keluar lagi dengan menenteng pedang. Ia
berlari mendekati Syarif. Gelang emas itu tetap didekapnya di dadanya.
Jamilah menatap dalam-dalam mata kekasihnya itu, “Demi Allah aku mencintaimu, Cutbang. Aku ingin bahagia bersamamu. Ingin sekali.”
Ledakan-ledakan
terdengar lagi. Dentuman senjata membahana sunyi. Rentetan peluru tak
putus-putus. Jauh dan sabar, sendu dan pilu. Senyum merekah di wajah
Syarif.
“Aku tak ingin bidadari, aku hanya ingin dirimu. Perang Sabil menunggu kita, mari berangkat.”
Mereka
berjalan cepat, bersisian. Pedang kokoh dalam genggaman masing-masing.
Pandangan mereka lurus ke depan, menatap perjuangan yang jadi amanah
Tuhan. Baru kali itu senyum merekah di bibir mereka berdua,
bersama-sama. Gelang emas teguh dalam dekapan Jamilah, seteguh Syarif
mendekap cintanya. Mereka bertempur bersama-sama dalam Perang Sabil.
Menggadaikan cinta mereka demi perjuangan, dalam kebesaran jiwa, dalam
keikhlasan, dalam cinta. Dan berbahagialah mereka selamanya dengan cinta
mereka. Tuhan sendiri yang menikahkan mereka. Para malaikat menjadi
saksi-saksinya. Bidadari-bidadari jadi pengiring-pengiringnya. Seisi
surga berbahagia…[TAMAT]
[10] Mas kawin (mahar).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar