Kisah Cinta dalam Perang Sabil (Diangkat dari Peristiwa Perang Aceh) |
*
Oleh Sayf Muhammad Isa (*
Ketika itu
Pelabuhan Ulee Lheu bersemu emas senja. Matahari dihisap lautan dan
kian menghilang. Pelabuhan yang ramai di Banda Aceh itu mulai
ditinggalkan orang-orang yang kelelahan bekerja seharian. Semenjak zaman
Sultan Iskandar Muda pelabuhan itu sudah menjadi tempat berniaga
orang-orang dari banyak negara. Hingga hari itu, di abad ke-19, saat
bencana terus merayap, perlahan tapi pasti, hendak menghancurleburkan
tanah Aceh.
Di
Pantai Ceureumen, tak jauh dari pelabuhan, duduklah dua orang pemuda
yang bernama Syarif dan Husin. Sore itu keringat bercucuran di sekujur
tubuh mereka sebagaimana biasa, sebab mereka adalah kuli di pelabuhan
yang ramai itu. Butiran pasir pantai mengusap-usap hidup mereka yang
getir.
Mereka miskin, yatim piatu, sebatang kara, namun itu semua tak kuasa mengusir senyum dari wajah mereka, dan hidup mengalir dengan kesyukuran untuk semua yang telah dianugerahkan Tuhan. Angin membelai wajah mereka yang masih muda, yang teguh tegar dipukul nasib. Dan melepas penat dalam senja di Pantai Ceureumen menjadi kekayaan teragung bagi mereka, yang lebih berharga dari harta sepenuh dunia.
Mereka miskin, yatim piatu, sebatang kara, namun itu semua tak kuasa mengusir senyum dari wajah mereka, dan hidup mengalir dengan kesyukuran untuk semua yang telah dianugerahkan Tuhan. Angin membelai wajah mereka yang masih muda, yang teguh tegar dipukul nasib. Dan melepas penat dalam senja di Pantai Ceureumen menjadi kekayaan teragung bagi mereka, yang lebih berharga dari harta sepenuh dunia.
“Lihatlah itu, Husin,” telunjuk Syarif teracung, menunjuk kepada sesuatu di tengah lautan.“Kapal-kapal Belanda itu sudah tiga hari mengapung di situ. Tak bergerak sama sekali. Apa yang sebenarnya mereka mau?”
“Memang agak aneh juga,”
sahut Husin. Matanya menatap kepada bendera tiga warna Belanda yang
berkibar di tiang kapal itu. “Tapi biarkan sajalah, yang penting mereka
tidak mengganggu kita.”
“Dari kabar-kabar yang kudengar ada utusan Belanda yang menghadap Sultan. Hendak membuat perjanjian.”
“Aku
rasa tentang persoalan perbatasan dengan wilayah-wilayah di selatan
yang kabarnya sudah banyak yang berada di bawah penguasaan Belanda.”
“Mereka seenaknya saja mencaplok wilayah-wilayah Aceh.”
“Semoga semuanya baik-baik saja,” Husin menatap wajah sahabatnya lalu tersenyum. “Bagaimana perasaanmu? Pernikahanmu tak lama lagi!”
“Ah, tak tahulah, Husin,” sahut Syarif. Ia tersenyum tipis. Matanya tetap kepada kapal-kapal Belanda yang teguh itu. “Semua perasaan campur aduk menjadi satu.”
“Tapi kau senang kaaan?” Husin tersenyum lebar, ia menyikut bahu Syarif. “Saking
senangnya aku melihatmu bekerja keras seperti orang gila. Bisa-bisa
remuk tangan dan kakimu itu memanggul peti-peti lada kalau tak
beristirahat.”
“Aku harus melakukan itu, aku ingin membahagiakan istriku kelak. Aku ingin mencukupinya.”
Husin tersenyum bahagia, larut dalam kebahagiaan sahabatnya. “Selepas kau menikah nanti, aku akan pindah. Kau berbahagialah berdua dengan istrimu.”
Syarif terkejut mendengar kata-kata sahabatnya, ia menatap heran kepada Husin. “Apa
yang kau bilang itu? Kau saudaraku, kita tetap akan bersama apapun yang
terjadi. Dengan aku menikah bukan berarti kau harus pergi.”
“Aku hanya ingin kau bahagia,” Husin masih tersenyum, “Kau pasti ingin berdua saja dengan istrimu.”
“Aku tak bahagia kalau kau pergi,” Syarif melotot kepada Husin. “Dan jangan pernah bicara begitu lagi.”
Husin menunduk dan terus tersenyum. “Terima kasih banyak. Kau selalu menolongku semenjak kita bertemu tiga tahun yang lalu.”
Dan angan-angannya mengembara saat Syarif menolongnya dari serangan
seekor harimau yang berhasil melukai kakinya. Syarif merawatnya, dan
sejak itu ia tinggal di gubug Syarif di kampung Lampadang [1]. Ketika itulah persahabatan mereka dimulai.
“Aku
ini sebatang kara. Tapi kemudian Allah memberiku saudara. Tak akan aku
biarkan sesuatu yang buruk menimpa saudaraku itu. Kau telah
menyelamatkan aku dari kesendirian. Terima kasih banyak.”
“Hei, maukah kau menolongku sekali lagi?” Husin berseri-seri. Ia mencolek pinggang Syarif.
“Apa?”
“Carikanlah aku seorang istri. Aku juga ingin beristri sepertimu.”
“Hahahaha… Tenang saja, nanti Jamilah akan mencarikannya untukmu.”
***
Pada sore
yang sama di sisi lain Pantai Ceureumen berdirilah seorang perempuan
muda seorang diri. Jamilah, nama perempuan itu. Pandangan matanya
melayang menatap teguh kapal-kapal Belanda di lautan. Angin halus
menelisik kain kerudung lusuhnya yang rapuh diterjang nasib. Ia
sendirian di dunia ini, tak punya siapa-siapa lagi. Untuk hidupnya ia
menjual kayu bakar di Pelabuhan Ulee Lheu.
Sebuah gubug peninggalan orang tuanya di Lampadang menjadi tempatnya bernaung. Ketika itu angan-angannya melambung ke angkasa, kepada cinta. Ia bersyukur kepada Tuhan sebab telah menganugerahinya jodoh seorang pemuda yang baik hati, giat bekerja, dan taat beragama. Dan ia sungguh-sungguh mencintai pemuda itu. Pemuda yang tak lama lagi akan menikahinya, Syarif.
Sebuah gubug peninggalan orang tuanya di Lampadang menjadi tempatnya bernaung. Ketika itu angan-angannya melambung ke angkasa, kepada cinta. Ia bersyukur kepada Tuhan sebab telah menganugerahinya jodoh seorang pemuda yang baik hati, giat bekerja, dan taat beragama. Dan ia sungguh-sungguh mencintai pemuda itu. Pemuda yang tak lama lagi akan menikahinya, Syarif.
Malam
merayap sudah. Mengambang memayungi tanah Aceh. Gelap hitam
berbayang-bayang, namun indah rupawan. Dan kedamaian jadi udara yang
dihirup semua orang. Malam itu agak berbeda. Para lelaki di Lampadang
ramai berkumpul di sebuah lapangan di hadapan meunasah [2].
Tangan-tangan mereka menggenggam obor yang kobaran apinya meliuk-liuk
gemulai. Malam itulah semua orang akan mengetahui apakah kedamaian masih
akan bertahan di tanah Aceh.
Teuku Nanta Seutia [3], uleebalang [4] Enam Mukim [5],
berwajah muram saja malam itu. Ia duduk di punggung kudanya, menatap
wajah-wajah keras rakyatnya yang menunggu. Sebab kabar yang dibawanya
lebih hitam dari kematian.
“Assalamu’alaikum,” ia memulai dalam suara gemetar, dan semua orang bergumam menjawabnya. “Aku
menyerukan kepada saudara-saudara untuk mempersiapkan diri. Tadi pagi
utusan Belanda datang menghadap Sultan, menyampaikan sepucuk surat, dan
telah nyata di dalam surat itu, Belanda menyatakan perang kepada Aceh.
Sebab Aceh tidak mau memenuhi apa yang mereka pinta.”
Dengungan-dengungan
tiba-tiba menyeruak dari kerumunan orang-orang Lampadang itu. Mereka
tenggelam dalam keterkejutan yang mematikan. Jantung-jantung berdetak
lebih cepat, napas naik ke tenggorokan. Mereka saling bicara satu sama
lain tentang berita dari Teuku Nanta.
Teuku
Nanta mengangkat tangan kanannya penuh wibawa. Dalam sekejap keributan
itu mereda, semua orang kembali memerhatikan Teuku Nanta. “Mengapa kita
menolak? Sebab kaum penjajah hendak merampas Aceh. Hendak merampas
negeri kita. Hendak merampas kemerdekaan kita. Hendak merampok harta
benda tanah kita. Mereka hendak menjajah.”
Teuku Nanta mencabut rencong [6] yang tersemat di perutnya. Ia mengacungkannya tinggi menusuk langit malam. “Allah
dan RasulNya memerintahkan kita untuk melawan sekuat tenaga apabila
kaum penjajah datang hendak merampas tanah kita. Mereka telah menyatakan
perang, dan kewajiban kitalah untuk mengobarkan Perang Sabil [7]
demi melawan mereka. Jangan ragu! Jangan takut! Bagi orang-orang yang
ikhlas berjuang Allah akan menghadiahinya sorga. Yang di muka pintunya
berdiri bidadari-bidadari, mereka menunggu suami dari Perang Sabil.”
“ALLAAAAAHU AKBAR,” Teuku Nanta memekik.
Dan
takbir berkumandang merobek malam. Berhamburan ia dari mulut
orang-orang yang teguh yang detik itu juga telah menggadaikan nyawa
mereka demi membela negeri, memenuhi amanah Tuhan mereka untuk melawan
penjajah.
“Pulanglah!
Persiapkanlah diri dan senjata!. Besok subuh datanglah ke Pantai
Ceureumen, sebab Belanda akan menyerbu dari sana. Sesungguhnya Allah
bersama kita. ALLAAAAAHU AKBAR.” Dan gegap gempita memenuhi malam. (To be continue ..)
Keterangan :
- [1] Sebuah nama kampung di Aceh pada abad ke-19.
- [2] Semacam balai rakyat dalam bahasa Aceh.
- [3] Beliau adalah ayah dari Cut Nyak Din.
- [4] Semacam kepala pemerintahan dari suatu daerah yang terdiri dari kumpulan kampung di Aceh abad ke-19.
- [5] Nama suatu wilayah kekuasaan adat di Aceh abad ke-19.
- [6] Belati unik khas Aceh. Bentuk dan ukurannya melambangkan status sosial tertentu.
- [7] Perang Sabil (diambil dari kata dalam bahasa Arab sabilillah (jalan Allah) adalah serangkaian peperangan yang terjadi antara Kesultanan Aceh dan penjajah Belanda pada abad ke-19. Istilah ini kerap disebut oleh orang Aceh pada masa itu.
Read more: http://www.atjehcyber.net/2011/08/kisah-cinta-dalam-perang-sabil.html#ixzz1zEdjbt51
Tidak ada komentar:
Posting Komentar