Di
tengah-tengah hiruk-pikuk dan kerumunan orang-orang Lampadang itu
Syarif mengernyit menatap Teuku Nanta. Mulutnya tak mau berkata apa-apa.
Husin hanya menekur saja. Mereka terkejut alang-kepalang, ternyata
kapal-kapal Belanda yang mengapung di mulut Pantai Ceureumen membawa
kabar perang. Tiba-tiba Syarif menepuk bahu Husin dan berbisik
kepadanya.
“Mari pergi.”
Mereka berdua melangkah cepat, batang obor getir mereka genggam, nyala apinya menerangi langkah mereka.
“Antarkan aku ke rumah Jamilah,” kata Syarif. Husin mengangguk tanpa bicara apa-apa, mereka terus melangkah, tergesa-gesa.
Gubug itu berdiri rapuh. Sebatang obor menyala di ambang pintunya. Syarif dan Husin telah berdiri tegak di sana.
“Assalamu’alaikum,”
Syarif mengetuk pintu. Tak ada jawaban. Ia mengulang salam dan mengetuk
lagi, tetap tak ada jawaban. Ia mengucap salam yang ketiga, mengetuk
makin keras, tapi tetap tak ada jawaban. “Kemana perginya Jamilah?”
Husin
hanya menggeleng. Tiba-tiba mereka mendengar suara salam di belakang
mereka. Suara salam seorang perempuan. Mereka menoleh, dan berdirilah
Jamilah di sana sambil menenteng obor. Garis wajahnya yang cantik
menyiratkan kegalauan. Sorot mata indahnya mengandung kekhawatiran.
“Jamilah,
kemasi pakaianmu sekarang juga, kita pergi dari sini. Belanda telah
menyatakan perang tadi pagi. Cepatlah, tak ada waktu lagi” Syarif tergesa-gesa. Kata-katanya berhamburan begitu saja dari mulutnya.
Namun
Jamilah diam saja, tak beranjak sama sekali dari tempatnya berdiri.
Matanya menatap getir kepada Syarif. Bibirnya gemetar menahan perasaan.
Ia telah tahu apa yang terjadi, jauh sebelum Syarif mengatakannya.
“Aku telah tahu, Cutbang [8],” suara Jamilah bergetar. “Cut Nyak Din [9] menceritakannya kepadaku.”
Syarif makin tergesa-gesa. “Kalau kau telah tahu berarti kau telah berkemas! Kalau begitu cepatlah, kita berangkat sekarang juga.”
Sorot
mata Jamilah makin getir. Air mukanya keruh, menggambarkan berat beban
yang ditanggung jiwanya. Ia menunduk, dadanya berguncang keras, hancur
berantakan dihantam lara. Kelopak matanya sudah tak sanggup lagi
membendung cairan hangat yang suci itu. Ia menangis, berlinanglah air
matanya membasuh wajahnya. Alis Syarif mengerut, Husin diam saja.
“Sabarlah, kita pergi dari sini, kemasi pakaianmu,” Syarif terus mendesak. “Cepatlah!”
Jamilah
mengangkat tangannya, menghapus air matanya. Ia menegakkan wajahnya,
tersenyum kepada Syarif. Dan dalam kegelapan, dalam keremangan cahaya
obor, terlihatlah betapa cantiknya Jamilah. Dan kecantikan itu baru
pertama kali disaksikan Syarif.
“Pulanglah, Cutbang,” kata Jamilah lirih. “Bersiaplah! Pergilah berperang!”
Seribu
pedang seakan-akan mencabik-cabik jantung Syarif ketika mendengar
kata-kata Jamilah. Alisnya bertaut tak mengerti. “Apa yang kau bilang
itu? Akan pecah perang di Aceh, kita harus pergi dari sini, secepatnya.
Cepat kemasi pakaianmu.”
“Tidak, Cutbang! Pulanglah! Kau harus berangkat berperang.”
“Kenapa kau ini, Jamilah? Kita akan menikah tak lama lagi, kita harus pergi dari sini.”
Air mata Jamilah berlinang lagi. Ia sesenggukan, kepalanya menggeleng perlahan. “Aku tahu itu! Tapi penjajah hendak merampas Aceh, kewajiban kitalah membelanya.”
“Demi Allah aku mencintaimu, Jamilah. Aku ingin menikahimu, sebab itu kita harus pegi dari sini.”
Dalam derai air mata itu terkembanglah senyum yang aneh di wajah Jamilah. “Aku
pun mencintaimu, tapi aku tidak lebih berharga dari tanah Aceh. Belalah
negeri ini, Cutbang, berperanglah. Jangan pikirkan lagi pernikahan
kita, aku ikhlas. Dan aku akan bangga kepadamu, sebab aku telah
mencintai laki-laki yang tepat.”
“Mengapa
begini kau bicara? Aku tak punya siapa-siapa lagi di dunia ini, hanya
dirimu! Aku mohon pergilah bersamaku, Jamilah. Aku mencintaimu… aku tak
punya siapa-siapa.” Air mata Syarif telah berderai.
Kakinya lemas, ia jatuh berlutut, wajahnya menunduk kepada tanah. “Aku ingin bahagia… aku ingin bahagia bersamamu.”
Kakinya lemas, ia jatuh berlutut, wajahnya menunduk kepada tanah. “Aku ingin bahagia… aku ingin bahagia bersamamu.”
“Tak
ada lagi tempat bagi kita kalau penjajah telah merampas tanah kita.
Kita tak bisa pergi kemana-mana, sebab mereka telah menebarkan
kezaliman. Walaupun kita menikah, tak akan ada lagi kebahagiaan bersama
kita kalau penjajah telah tegak di halaman rumah kita. Karena aku
mencintaimu, semua ini aku pinta darimu.”
Saat kata-kata itu keluar dari mulut Jamilah air mata makin deras berderai di pipinya. Kakinya gemetar. Taufan badai berkecamuk di dalam hatinya tatkala keputusan untuk mengatakan itu diambilnya. Sebenarnya ia tak sanggup, tapi ia kuatkan hatinya sekuat-kuatnya. “Aku mencintaimu, karena itu berangkatlah berperang, Cutbang!”
Saat kata-kata itu keluar dari mulut Jamilah air mata makin deras berderai di pipinya. Kakinya gemetar. Taufan badai berkecamuk di dalam hatinya tatkala keputusan untuk mengatakan itu diambilnya. Sebenarnya ia tak sanggup, tapi ia kuatkan hatinya sekuat-kuatnya. “Aku mencintaimu, karena itu berangkatlah berperang, Cutbang!”
Syarif
menangis terisak-isak, punggungnya berguncang. Ia menutup wajahnya
dengan kedua belah tangannya. Jamilah meniup obor di genggamannya. Ia
berjalan gontai, hatinya remuk dihancurkan nerstapa. Ia melangkah masuk
ke dalam gubugnya, menutup pintu, dan menguncinya. Di dalam ia menangis
sejadi-jadinya.
Husin
yang diam saja dari tadi melangkah mendekati sahabatnya. Ia menggamit
bahu Syarif dan membangunkannya. Mereka melangkah pulang. Sesampainya di
gubug mereka bermenunglah mereka. Diam sejuta bahasa. Lewat tengah
malam Husin angkat bicara.
“Maafkan aku, Saudara,” kata Husin terbata-bata, “Aku akan berangkat berperang. Aku ingin beristri seorang bidadari.”
Belum tuntas guncangan karena Jamilah di kepala Syarif, sekarang Husin malah menambah-nambahnya. Ia membelalak kepada Husin. “Sekarang
kau pun bicara begini. Kau ingin meninggalkan aku? Kita pergi dari
sini, jauh dari sini, agar Belanda jahanam itu tak bisa mengganggu
kita.”
“Aku
pun berpikir begitu tadinya. Tapi sungguh aku bangga kepada Jamilah. Ia
mengajarkan aku tentang cinta. Begitulah cinta, Syarif, cinta itu
kebesaran jiwa. Kewajiban kita adalah saling mencintai, bukan saling
memiliki. Setiap kita adalah milik Allah, kalau Allah ingin mengambilnya
kembali kita hanya bisa ikhlas menerimanya. Sekarang Allah menguji kita
dengan mendatangkan Belanda yang hendak menjajah tanah kita, apakah
kita bisa melaksanakan perintahNya untuk membela Aceh?”
“Ya Allah…ya Rabbi,” Syarif menutup wajahnya dengan kedua belah telapak tangannya. Ia terbenam di kursinya. (To be continue...)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar